Monday 27 August 2007

fotocopy machine

Jangan Mian Main dengan mesin FotoCopy

Thursday 9 August 2007

Pembalap Liar di Dalam Arena




Kompetisi hacker nasional di Jakarta berakhir pada pekan lalu. Pemenangnya seorang mahasiswa asal Padang. Menakar ahli-ahli peretas Indonesia.

Mal Mangga Dua Jakarta gemuruh oleh tepuk tangan ketika empat wanita seksi meliuk-liukkan tubuh mengikuti irama lagu Agnes Monica di lantai dasar. Pengunjung pertokoan elektronik itu gembira benar mendapat suguhan gratis itu pada Rabu pekan lalu. Ada 15 laki-laki yang duduk tepat di depan para penari. Tapi mereka tak tergoda—malah sibuk mengoprek laptop. Komputer jinjing tampaknya lebih aduhai ketimbang penari bahenol yang tengah berajojing.

Lima belas orang itu tengah bertarung dalam final Pazia Acer National Hacking Competition 2007. Ini kompetisi para peretas (hacker) muda. Misi mereka: menjebol server dan mencuri target data. ”Saya takut kehilangan konsentrasi karena penari itu,” kata Imam Rasyid Mahi.

Lantaran berkonsentrasi, dan tentu saja karena kemahirannya menjebol server, peserta asal Padang ini menjadi juara nasional bersama rekannya Andri Wardhana. Keduanya mendapatkan hadiah satu buah laptop Acer Ferrari seri 1005 plus pelatihan jaringan. Ahmad Attas dari Makassar meraih juara kedua. Pasangan Prabowo Bayuaji dan Franky Yustanto dari Semarang menduduki posisi ketiga.

Kompetisi para jago komputer ini dimulai sejak Juni lalu di 10 wilayah, yakni Medan, Padang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. Pertandingan diikuti 816 peretas, belum termasuk 723 peserta online. Museum Rekor Indonesia mencatatkan lomba ini sebagai kompetisi meretas jaringan dengan peserta terbanyak.

Peserta bisa perorangan atau duet. Targetnya adalah mengambil data berupa file teks dan gambar. Ini seperti permainan capture the flag. Setiap peserta bebas memasang peranti lunak dalam komputer berbasis Windows. Tentu bukan perkara mudah bagi peserta ”menyelinap” ke dalam server. Panitia mengacaukan lokasi server dengan memunculkan ribuan alamat palsu dan membuat pertahanan berlapis. Waktunya dibatasi hanya satu jam. ”Tingkat kesulitannya tinggi,” ujar Dani Firman Syah yang menjadi penjaga komputer server. Dani adalah hacker dengan nama Xnuxer yang menjebol dan mengubah tampilan situs Komisi Pemilihan Umum pada 2004.

Ketua panitia Michael S. Sunggiardi mengatakan, kompetisi peretas jaringan ini bukan bertujuan menciptakan hacker perusak. Menurut dia, pertandingan itu dimaksudkan untuk mencari bibit unggul di bidang komputer. ”Kompetisi ini membuktikan kepada masyarakat bahwa hacker bisa berbuat hal positif,” kata Michael.

Selama ini mereka selalu dipukul rata sebagai pelaku pembobolan situs atau pencurian kartu kredit. Juga, kerap dicitrakan sebagai seseorang yang melakukan penetrasi ke dalam sistem komputer tanpa otorisasi sah. Padahal, awalnya istilah hacker lebih ditujukan pada orang yang ahli program dan jaringan. Pelaku kejahatan internet biasanya disebut kracker atau carder. Mereka juga disebut sebagai hacker hitam.

Indonesia memang sudah telanjur dicap sebagai biang pelaku kejahatan dunia maya. Internet Security Intelligence Briefing dari lembaga verifikasi transaksi internet VeriSign sudah menjatuhkan vonis kepada Indonesia sebagai negara dengan jumlah pelaku kejahatan internet sejak 2004. Kepolisian Indonesia juga sudah menyidik 65 kasus kejahatan internet selama 2006. Kasus itu meliputi penipuan, pemalsuan, pengancaman, perjudian, terorisme, perusakan, dan lain-lain.

Kasus yang paling terkenal adalah ketika Wenas Agusetiawan yang belum berusia 17 tahun menjebol situs pemerintah Singapura dari apartemennya di Toa Payoh, Singapura, pada 2000. Wenas menjadi hacker pertama dari Indonesia yang diadili di luar negeri.

Jumlah kejahatan di dunia maya memang bisa menjadi ukuran besarnya potensi hacker di Indonesia. Dalam Konferensi Internet Se-Asia Pacific (APRICOT 2007) di Bali, Januari lalu, pakar teknologi informasi Onno W. Purbo menyebut jumlah hacker Indonesia saat ini mencapai 35 ribu. Sementara pegiat komputer lain seperti administrator berjumlah 28 ribu, programer 26 ribu, serta pelajar atau mahasiswa ilmu komputer 46 juta orang. ”Nah, kompetisi ini memfasilitasi mereka. Seperti pembalap liar yang disediakan arena balapan,” kata Yuliasiane Sulistiyawati, Managing Director PT Pazia Pillar Mercycom, distributor produk-produk Acer.

Koordinator Information and Communication Technology (ICT) Watch, Donny Budi Utoyo, mengatakan, kemampuan hacker Indonesia tak kalah dengan hacker negara lain. Jim Geovedi, misalnya, kini menjadi Security Consultant Bellua Asia Pasific. Wenas menjadi programer di Kanada.

Komunitas hacker pun bermunculan, seperti Jasakom, Antihackerlink, atau Medanhacker. Komunitas dengan jumlah anggota terbanyak adalah Jasakom Perjuangan: 14 ribu orang. Tapi di luar komunitas peretas ”baik-baik” itu, kata Donny, ”Yang banyak muncul justru perusak sistem.”

Dalam soal perang, para peretas di Indonesia juga terbilang jago. Beberapa hacker, misalnya, pernah melakukan perang terbuka dengan Malaysia ketika ada kasus Ambalat. Pengelola Jasakom Perjuangan, Susanto, mengatakan, predikat Indonesia sebagai defacer, tukang membobol dan mengubah tampilan situs orang lain, cukup tinggi. Kegiatan itu dilakukan dengan motif ingin mendapat pengakuan sebagai hacker. Padahal, Susanto mengatakan bahwa defacing sama sekali tak mencerminkan tingginya kemampuan. ”Itu perilaku mereka yang hanya bisa masuk ke situs-situs yang lemah pengamanannya,” kata Susanto.

Menurut Susanto, perilaku merusak sistem itu bisa diarahkan menjadi hal yang positif seperti menjadi programer. Namun, kendala yang dihadapi adalah biaya berinternet di Indonesia yang masih relatif mahal. Berselancar di warung internet saja harus keluar uang paling tidak Rp 5.000 per jam. Padahal, seorang hacker membutuhkan waktu sampai berjam-jam untuk meretas sebuah situs.

Tapi jika sudah keranjingan, ”Segala hambatan bisa teratasi,” kata Imam Rasyid. Mahasiswa Ekonomi Universitas Sumatera Utara ini memilih tetap fokus ke laptopnya kendatipun ada empat wanita seksi tengah meliuk-liuk di depannya. ”Tapi itu kan karena lagi kompetisi. Hacker juga manusia,” ujarnya sembari terbahak. Anak muda ini optimistis hacker akan terus berkembang di tengah keterbatasan infrastruktur di Indonesia.

(Dari Majalah TEMPO Edisi.24/XXXIIIIII/06-12 Agustus 2007)